Sejarah Desa Cepogo

Asal muasal Desa Cepogo Tidak tercatat dalam sejarah secara tertulis ,Namun keberadaan Desa Cepogo tidak akan terlepas dari keberadan Dukuh Tumang yang di jadikan pusat pemerintahan Desa , sehingga sejarah Tumang lebih menonjol , hal ini tidak terlapas dari keberadaan Dukuh Tumang yang merupakan Dukuh industri kerajinan Logam yang lebih di kenal di masyarakat luas baik dalam negeri maupun luar negeri di banding Nama Cepogo , yang sebenarnya adalah nama Desa.

1.

Terjadinya Dukuh Tumang.

 

Dari berbagai informasi yang dikumpulkan, ada berbagai versi tentang asal muasal Desa Tumang Cepogo, salah satu versi yang berkembang disana adalah adanya pohon besar yang sampai saat ini tidak diketahui kapan ditanamnya. Desa Tumang Cepogo konon certitanya lahir dari cerita dari rakyat tentang adanya cahaya yg bersinar terang setiap malamnya, cahaya tersebut bersumber dari pohon randu alas yangberada diujung dusun. Saat ini pohon berusia ratusan bahkan ribuan tahun ini masih kokoh berdiri dan disakralkan oleh masyarakat setempat.

Beberapa masyarakat mengangap cahaya yang keluar dari pohon randu alas tersebut adalah hantu kemamang, cerita ini yang kemudian berkembang dan konon ceritanya kata Tumang itu berasal dari hantu kemamang. Versi lain juga menyampaikan bahwa jauhsebelum masa Mataram islam, daerah ini adalah daerah umat Hindu untuk melakukan upacara ngaben (pembakaran mayat). Dalam masyarakat jawa bibir tunggku itu dinamakan tumang, karena itu salah satu tempat yang digunakan untuk membakar mayat adalah tumang. Karena itu daerah itu disebut sebagai Tumang.

2.

Terjadinya Dukuh Tumang menjadi Dukuh Sentra Industri Kerajinan Logam

 

Pada Tahun +- 1930 M, pada masa Pemerintahan Keraton Surakarta Hadiningrat, pada Masa Pemerintahan Pakoe Boewoeno X ( PB X ) , pada saat itu tersiar kabar bahwa salah satu pusaka keraton yang hilang ( baca jawa Murco ), berdasarkan informasi abdi dalem keraton ( Nujum ) mengatakan bahwa pusaka keraton yang morco tersebut berada di Dukuh Tumang ( berda di sekitar Makam Kyai Ageng Rogosasi ) . Dari informasi tersebut Raja  beserta prajurit melacak / mencari keberadaan pusaka tersebut ke wilayah Tumang , dengan mengadakan berbagai ritual cara keraton. Pada saat Raja Paku Buwono X mengambil Pusaka tersebut, beliau melihat aktifitas warga di wilayah Tumang, khususnya di Dukuh Gunungsari sedang bekerja membuat dan memperbaiki alat dapur yang berbahan baku Tembaga, melihat aktifitas warga yang berbeda dengan mayoritas warga di wilayah Keraton Surakarta, Raja memberikan Nasehat dan pesan sebagai berikut ” WIS TERUSNO , BESUK BAKAL DADI DALAN REJEKIMU “   ( Teruskan besuk akan menjadi jalan rejekimu ) , pada saat itu , Titah Raja merupakan perintah bagi warganya yang harus di laksanakan dan di junjung tinggi, Sampai saat ini Kerajinan Tembaga masih di tekuni masyarakat Dukuh tumang dan bahkan sekarang berkembang dengan pesat tidak sebatas logam Tembaga namun juga yang berbahan alumunium , kuningan dan besi , demikian pula dari segi hasil kerajinannya , di mana yang dulu hanya pembuatan alat dapur sudah berkembang ke arah yang lebih modern, dengan menghasilkan Kaligrafi, dan lain lainnya.

3.

Perjalanan hidup Kyai Rogosasi

 

Saat ini ada sebagian masyarakat yang masih tabu mengungkap silsilah dari Kyai Rogosasi, karena itu cukup sulit mencari informasi tetang hal tersebut. Dari penelusuran data yang dilakukan oleh tim penulis didapatkan informasi bahwa: Konon kabarnya, pendiri dusun Tumang adalah Ki Ageng Rogowulan adalah seorang Pangeran Kerajaan Mataram Islam, yakni putera pertama Amangkurat I (1619-1677) dengan permaisuri Ratu Labuhan.

Babad Tanah Djawi mengisahkan perjanjian antara Ki Ageng Pemahanan dan Ki Ageng Giring. Ki Ageng Giring Paderesan yang mendapatkan wahyu dalam rupa degan atau kelapa muda. Siapa yang minum air degan itu sekaligus, dia akan menurunkan raja. Sial bagi Giring. Saat berkunjung ke rumahnya, Pemanahan mendahului meminumnya. Menyadari kekeliruan itu, Giring minta belas kasihan agar keturunannya kelak dapat menggantikan kedudukan keturunan Pemanahan sebagai raja.

Pemanahan menjawab setelah keturunan Pemanahan ke-7, ada kemungkinan keturunan Giring menjadi raja. Raja pertama Mataram adalah Panembahan Senopati, anak Pemanahan. Kedua, Panembahan Hanyakrawati. Ketiga, Panembahan Martapura. Keempat, Sultan Agung. Kelima, Amangkurat I. Keenam, Amangkurat II dan ketujuh, Amangkurat III. Dengan perhitungan itu, maka Poeger menjadi raja setelah keturunan ke-7 dari Pemanahan. Apalagi Poeger bertakhta setelah mengalahkan Amangkurat III.

Dugaan Poeger merupakan keturunan Giring berasal dari Babad Nitik Sultan Agung. Babad itu menceritakan Ratu Labuhan, permaisuri Amangkurat I melahirkan bayi yang kurang sempurna. Bersamaan itu, istri Pangeran Arya Wiramanggala dari Kajoran, di lereng gunung Merapi yang masih keturunan Giring, Gunungkidul melahirkan seorang bayi sehat dan tampan. Amangkurat mengenal Panembahan Kajoran sebagai seorang ulama sepuh dan dapat menyembuhkan orang sakit. Oleh karena itu puteranya yang cacat dibawa ke Kajoran untuk dimintakan penyembuhannya. Kajoran merasa bahwa inilah kesempatan yang baik untuk merajakan keturunannya. Dengan cerdiknya bayi anak Wiramanggalalah yang dikembalikan ke Amangkurat I ditukar dengan menyatakan bahwa upaya penyembuhannya berhasil. Bayi itu kemudian dikenal sebagai Pangeran Puger, sementara Rogowulan anak dari Amangkurat I tetap diasuh oleh Panembahan Kajoran sampai dewasa.

Dituturkan dengan versi yang berbeda tetapi mengkonfirmasi data diatas, tertulis dalam Buku Sejarah Cikal Bakal Desa Tumang membenarkan kebenaran peristiwa tersebut, dituliskan bahwa Siwi Aji Rogosasi memang benarbenar putra Bangsawan Mataram, namun kelahiran sang Putra ini memiliki ketidak sempurnaan fisik. Dalam Naskah tersebut dituliskan sebagai berikut: “Seribu maaf mulai kelahirannya Syang Putra itu Kagungan: Jaroh manik sariro roga, hingga dalam hukum istana tiada mungkin bisa berdiri menjadi Senopati pemegang kuasa istana, maka Syang Siwi aji diendangkan keluar istana mulai timur alit” Disampikan bahwa Kyai Rogosasi atau Rogowulan kecil lahir tidak sempurna, karena itu tidak dapat melanjutkan tampuk kekuasaan sebagai penerusraja. Karena itu kemudian Rogowulan kemudian diasingkan dari istana semenjak dia masih bayi, kemudian untuk mengantikan posisi Rogowulan yang harus meneruskan kepemimpinan kerajaan maka dicari anak yang lahir sama usianya dengan Rogowulan, kemudian Rongowulan yang kelak kemudian hari berubah menjadi Rogosasi ini dititipkan kepada Kyai Kajor yang tinggal dilereng Gunung Merapi. Hal ini dipaparkan dengan jelas dalam buku yang sama, sebagai berikut: “Untuk husada duka derita Syang Ibu Puri dengan di ceritakan: Siwi Brahmana Siddhi yang sebayanya sehari wijiling Siwi Aji pada kerabat di dalam Puri yang benarbenar ada wahyu yang winahya oleh Hyang Maha Kuasa mendapat wahyu istana Kuwawa ngasto Projo ing tembeniro. Setelah mendapatkan baru Syang Siwi Aji di keendangkan. Konon dalam legenda di titipkan kepada Bapa Wiku Kyai Kajor di lereng Gunung Merapi, agar diasuh semestinya selama-lamanya” Selanjutnya disampaikan dalam naskah tersebut kyai Kajor mengasuh Rogosasi dengan sanggat baik, semua ilmu yang diamiliki sudah diajarkan kepada Rogosasi, karena itu Rogosasi kemudian pamit untuk mencari tambahan ilmu pengetahuan. Melepas Rogosasi Kyai kajor berpesan bahwa Rogosasi tidak boleh berjalan kearah selatan dan ke arah Barat, dan dilarang belajar kepada Demang projo atau Pungawa keraton tetapi bergurulah pada Biksu. Dibalik pesan Kyai kajor ini sebenarnya menyimpan satu pesan bahwa Rogosasi tak Boleh lagi pergi keistana, dan tidak boleh belajar ilmu pemerintahan tetapi harus belajar ilmu agama, agar kelak kemudian hari tidak mempertanyakan haknya sebagai pewaris tahta Mataram. Karena itulah perjalanan ketimur membawa Rogosasi sampai ke Wonosegoro, sebuah tempat dimana Kyai Kebo Kanigoro mendirikan tempat belajar agama yang masih diteruskan oleh anak-anak muridnya.

Disini kemudian Rogosasi diasuh oleh Kyai Wono goro, setelah beranjak dewasa dia berniat untuk mencari pengetahuan baru seperti yang diwasiatkan okeh Kyai kajor untuk belajar Ilmu Agama. Perjalanan kyai Rogosasi, untuk mendapatkan pengetahuan ilmu agama menarik untuk ditelusuri. Untuk mendapatkan pengetahuan tetang agama setelah dirasa bekal ilmu dari kyai Wono goro telah mencukupi, maka Kyai Rogosasi kemudian meninggalkan Wonosegoro untuk beberapa saat demi belajar ilmu agama.

Sebuah padepokan santri yang ada diwilayah utara gunung Ungaran tempat pilihan beliau untuk belajar agama Islam, atas asuhan Kyai Hasan Munadi Rogosasi belajar Ilmu agama, beliau juga yang kelak menjadi mertua dari Kyai Rogosasi. Setelah menikah kemudian Rogosasi kembali ke Wonosegoro dan mendirikan pemukiman baru di sebelah timur Wonosegoro. Ditempat ini kemudian Rogosasi mendirikan pakuwon, disini juga Rogosasi tinggal yang saat ini dikenal dengan dusun Tumang.Datangnya Mpu Supondrio dan Kerajinan Logam di Tumang. Para keluarga keraton sepertinya tidak berharap Rogosasi kembali keistana. Aroma perebutan kekuasaan memang kental jika membaca kisah Kyai Rogosasi, Setelah diendangkan (dijauhkan dari Istana) Rogosasi kecil belajar ilmu agama sampai akhirnya berhasil membangun Pakuwon, Padepokan di Dusun Tumang. Pakuwon yang didirikannya ternyata banyak pengikutnya, kesuksesan Kyai Rogosasi ini terdengar sampai Istana. Karena itu dalam buku Sejarah Tumang dituliskan bahwa, Sri Agung Panembahan (belum diketahui siapa berliau) mengutus keponakannya bernama Supandrio, ahli keris pewaris trah Supandrio untuk mencari kebenaran dan keberadaan Kyai Rogosasi, jika ketemu maka Supandrio tidak diijinkan untuk kembali ke kita raja tetapi harus mengabdi kepada Rogosasi. Sepertinya pesan ini mengandung arti bahwa ada ketakutan dari bangsawan istana, sehingga Empu Supandrio ditugasan untuk menjaga Kyai Rogosasi agar tidak memberontak atau meminta tahta raja yang sebenarnya menjadi haknya. Berikut petikan dari buku sejarah Tumang.

“Sri Agung Panembahan ngutus Pulunannya bernama Supandrio, Untuk menyatakan keadannya Siwi Aji, apabila betul agar Kyai empu tidak perlu kembali ke Kota Gede, baik lestari kumpul dengan sang Wiku Winandi, menjadi penjawatnya, ruwet reteng sarto kekurangan apapun, empu yang bertangungjawab; dengan atur uningo ke Kota Gede”

Pesan tersebut jelas bahwa Rogosasi tidak diperbolehkan kembali ke keraton, seperti yang sudah dipaparkan diatas. Karena itu sesuai perintah Panembahan, Mpu Supandrio diminta membangun pakuwun selain itu keahlianya membuat senjata kemudian diteruskan oleh Mpu Supandrio, disana murid-murid kyai rogosasi dan masyarakat setempat diajari untuk mengolah logam. Kegiatan ini kemudain menjadi cikal bakal kegiatan pengolahan logam di Tumang.

4.

Kepala Desa sejak tahun 1945.

 

1.    Tahun 1945 s.d 1949 ———————– Bp. Parto Dinomo ————— Tumang RT 001/013

2.    Tahun 1949 s.d 1985 ———————– Bp. Harso Suwarno ————- Tumang Rt 005/014

3.    Tahun 1985 s.d 1993 ———————– Bp. Ali Sya’ni ———————- Tumang Rt 003/012

4.    Tahun 1993 s.d 2002 ———————– Bp. Ali Sya’ni ———————- Tumang Rt 003/012

5.    Tahun 2002 s.d 2007 ———————– Bp. Abdul Choir —————— Tumang Rt 002/013

6.    Tahun 2007 s.d 2013 ———————– Bp. Abdul Choir —————— Tumang Rt.002/013

7.    Tahun 2013 s.d sekarang —————– Bp. Mawardi ———————- Tumang Rt 006/009

Sumber : Program Pengabdiam Masyarakat Mahasiswa Universitas Indonesia

 

 

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn

Berita